Senin, 07 Desember 2015

Api Cinta itu Hanya Ada Saat Belum Memilikinya



Gue yakin, elo pasti lebih inget orang yang pernah lo cintai, tapi akhirnya malah menyakiti, dibanding pasangan yang pernah sama-sama  selalu mencintai sampai bosan sendiri.

Kenapa gue bilang gitu? Akhir-akhir ini gue kepikiran, lagu-lagu bertema patah hati itu selalu lebih meledak dibandingkan lagu-lagu yang menceritakan indahnya jatuh cinta. Lagu yang membahas tentang cinta yang terkhianati, lagu yang membahas tentang cinta yang tak terungkapkan, maupun lagu yang membahas tentang cinta yang tak bisa dimiliki, memiliki kekuatan yang lebih “nonjok” dibandingkan lagu-lagu yang membahas tentang hati yang berbunga-bunga.

Hal itu beralasan. Orang itu lebih ekspresif saat mereka sedang sakit hati. Orang itu lebih sensitif saat mereka sedang terluka hati. Dan orang itu akan lebih mengingat detil orang yang menyakitinya dibanding orang yang membahagiakannya. Di postingan kali ini, gue mau ngajakin lo buat melihat cinta, dari sudut pandang berbeda. Iya, cinta itu benar-benar terasa, saat kita tidak sedang memilikinya. Itu yang gue pahami. Dan pemahaman semacam itu, datang dari pengalaman yang pernah gue jalani. Begini ceritanya..

Gue inget, beberapa tahun yang lalu, gue suka sama seorang cewek, bernama Ria. Cewek itu sekampus sama gue, sejurusan juga, namun kita tidak seperasaan. Ria ini adalah cewek berwajah adem kejawa-jawaan. Tiap dia ngomong, terasa lembut di hati. Menurut gue, Hitler pun kalo denger dia ngomong, pasti bakal jadi orang yang baik, dan nggak bunuh-bunuhin Yahudi lagi. Rambut Ria berwarna hitam, panjang, lurus sepundak. Kulitnya terlalu putih untuk ukuran cewek Jawa. Bibirnya merah, tanpa lipstick, dan parfumnya tak pernah ganti, Bvlgari Jasmin Noir. Dia nggak pernah ngasih tau merk parfumnya, tapi gue sering merhatiin dia kalo lagi nyemprotin parfum itu ke lehernya. Pertama kali gue ketemu dia adalah saat gue harus ke rental printer pagi-pagi. Kebetulan rental itu ada di dekat kosannya. Dan pertama jalan kaki bareng dia menuju kampus itu, mengubah hari-hari ngampus gue selanjutnya.

Kosan Ria ada di belakang kampus, sedangkan kosan gue ada di depan kampus. Setiap pagi, gue sengaja berangkat ngampus 15 menit lebih awal, biar bisa jalan kaki bareng dia. Iya, gue harus muterin setengah bangunan kampus yang ukurannya segede kampung halaman gue itu, hanya untuk bisa jalan bareng Ria. Tapi Ria tidak tahu kost gue di mana, yang dia tahu, kami jalan karena tujuannya searah. Iya, 10 menit jalan kaki bareng dia adalah 10 menit terindah dalam hari-hari gue. 10 menit yang mampu membuat gue selalu bisa bangun lebih pagi. 10 menit yang selalu gue pikirin setiap menjelang tidur di malam hari. Apakah setiap pagi jalan kaki mondar-mandir itu melelahkan buat gue? Nggak. Rasa lelah itu tertutup rapat oleh rasa bahagia karena bisa ngobrol dan jalan bareng dia. Gue nggak bisa ngerasa capek untuk mencintai, karena cinta itu memberikan energi tersendiri. Lihatlah hidup orang-orang yang tanpa cinta. Tak ada gairah, tak ada usaha, tak ada tenaga.

Kembali kepada topik si Ria. Pernah suatu ketika, gue jalan kaki seperti biasanya, lalu melambatkan langkah saat gue melewati depan kost si Ria. Gue lihat, pagi itu Ria tak kunjung tiba. Gue nggak bisa nanya Ria di mana, karena gue nggak pernah berani meminta nomor handphonenya. Gue lihat jauh ke depan, Ria juga tak terlihat di ujung jalan sana. Gue sengaja melangkah lebih lambat, agar nanti kalau Ria ternyata memang telat, dia bisa menyusul gue di jalan. Tapi 10 menit melewati jam kuliah dimulai pun, gue nggak berpapasan dengan si Ria. Bahkan sesampainya di ruang kelas, gue juga nggak menemukan si Ria.

Gue tanyain ke Dini, sahabat Ria, ke manakah gerangan si Ria berada? Dini mengatakan bahwa Ria sedang sakit, demam tinggi membuat Ria jadi dia absen hari itu. Selepas kuliah pertama, gue langsung pergi dari kampus, lalu mampir ke minimarket sebelah. Gue inget banget, gue adalah orang yang sangat ketat dengan pengaturan finansial. Zaman itu, gue jatah diri gue sendiri uang 30 ribu/hari untuk makan. Dan hari itu, gue memutuskan untuk memberikan hal yang berguna untuk kesembuhan si Ria. Gue membeli obat penurun panas, dan Redoxon, lalu duit gue tinggal tersisa 2 ribu rupiah. Uang sisa segitu, gue beliin mie instant buat jatah makan seharian.

Gue berjalan dengan penuh semangat ke kost si Ria, lalu membayangkan bahwa dia akan sangat bahagia dengan apa yang gue bawa buat dia. Tapi semangat itu memudar seketika bersamaan dengan apa yang gue lihat di teras kostnya. Ria sedang disuapin oleh seorang cowok seumuran kita. Pucatnya, tak menutupi kecantikannya. Serak di tenggorokannya, tak mengurangi kemerduan suaranya, saat bilang “pelan-pelan aja ya..” kepada cowok yang menyuapinya.

Pemandangan di depan gue emang sempat membuat gue gentar. Tapi apa yang udah gue bawa, nggak boleh sia-sia. Gue tetap memberanikan diri untuk mendekat, dan menyerahkan obat-obatan yang gue beli untuk Ria. Ria terlihat senang dengan apa yang gue bawa. Cowok yang menyuapinya juga mengucapkan terima kasih untuk apa yang gue lakukan untuk Ria. Lalu dia memperkenalkan dirinya, namanya Reno, gebetan Ria.

Sesaat setelah gue berbasa-basi dan terlihat baik-baik saja, gue segera pamit undur diri dari kost si Ria. Gue berjalan kaki menuju kost gue, sambil memakan mie instan mentah yang diremukin. Seremuk hati gue yang diremukin fakta bahwa Ria sudah memiliki orang yang dicinta.

Setelah kejadian itu, gue jadi manusia yang paling melankolis di dunia. Gue selalu melihat sisi gelap dunia. Ketidakadilan dunia, kekejaman cinta, kehancuran hati gue, semua berlalu lalang di dalam kepala. Segala keceriaan dunia seakan musnah begitu saja. Gue ciptakan puluhan puisi yang menyayat hati, gue ciptakan lagu-lagu yang mampu menyihir hati hingga beku, gue lukis warna-warna mati semati harapan gue untuk memiliki Ria. Itu adalah waktu yang sangat kelam namun tak terlupakan buat gue.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, gue udah terbiasa berjalan kaki sendirian dari kost langsung ke kampus, tanpa perlu muter melewati kost Ria lagi. Gue nggak marah sama Ria, gue cuma merasa, gue nggak layak memperlakukan hal spesial lagi untuk dia. Karena gue sadar, sudah ada orang lain yang bertanggung jawab atas hal-hal itu untuk dia.

Di kampus, gue bertemu Ria. Senyumnya tidak berbeda, masih seindah biasanya. Senyumnya masih dengan mudah meluruhkan amarah. Tawanya, bisa sekejap menghapuskan segala dendam yang ada.

“Alitt!! Jahat banget sih?!” Tanya dia mendadak membuat gue bingung.

“Ha? Jahat gimana?”

“Pindah kosan kok nggak bilang?” Ria mencubit pipi gue. Bukan sakit yang gue rasakan saat itu. Aneh, yang dicubit itu pipi, tapi kenapa yang terasa nyeri malah hati?

“Pindah kosan? Pindah ke mana?” Gue bingung karena gue nggak merasa pindah kost.

“Loh? Kamu nggak pindah? Kok kita nggak pernah ketemu di jalan lagi?”

Pertanyaan Ria membuat gue terdiam beberapa saat. Bingung untuk menjelaskan bahwa selama ini gue sengaja jalan muter-muter cuma agar bisa jalan kaki bareng dia.

“Kosanku dari dulu memang di depan kampus itu kok. Yang cat biru itu.” Akhirnya kalimat itu tercetus juga.

Ria terlihat bengong, dia gigit bibirnya, matanya layu, layaknya kucing lapar yang berharap untuk dilempar ikan kerapu.

“Jadi.. Selama ini…” Ria sepertinya sengaja tak menyelesaikan kalimatnya.

“Iya.” Gue tersenyum penuh makna, sambil menatap matanya dalam-dalam.

Ria lalu duduk di kursi kelasnya, dengan tatapan kosong. Ria melewati kuliah hari itu dengan tatapan kosong yang sama.

Sepulang kuliah, Ria menghampiri gue. Dengan ramah, dia menepuk pundak gue.

“Balik bareng yuk!”

“Tapi..” Gue mau bilang, kalo jalan pulang kita nggak searah.

“Aku cuma mau lihat kosanmu di mana. Hehe.. kalo boleh..”

“Baik..”

Kita berdua jalan keluar dari kampus, gue sempetin buat beli cilok buat dimakan berdua sepanjang jalan. Kami mengobrol panjang sambil tertawa-tawa, sampai depan kosan gue.

Di depan kosan, Ria berpamitan.

“Oh.. Ini kosanmu.. Jauh juga yah, kalo harus muter dulu ke belakang kampus. Hehe..”

“Hehe..” Gue tersenyum kaku. Seakan-akan ada behel yang dipasang di bibir gue.

Sejak hari itu, setiap pagi Ria yang menghampiri, dan menunggu gue di depan kosan. Lalu kita jalan ke kampus barengan. Itu rute yang lebih wajar, karena setiap Ria mau ngampus, dia memang melewati kosan gue. Dibanding gue yang harus muter ke belakang kampus dulu, cuma agar bisa jalan kaki bareng dia mulu.

Sebulan kemudian, gue dan Ria jadian. Ria mengatakan bahwa dia tidak bisa menerima Reno, karena Reno tidak tinggal di kota yang sama. Ria trauma dengan LDR, dia tidak mau memberi harapan kepada Reno. Saat baru memiliki Ria, adalah saat yang membuat gue sangat bahagia. Akhirnya, segala perjuangan gue sebelumnya, berbuah manis juga.

Tapi kebahagiaan itu pelan-pelan memudar. Di mana cinta, berubah menjadi kewajiban, bukan lagi hal yang dijalani dengan ketulusan. Di mana gue harus selalu menuruti permintaan Ria untuk menemani dia pulang-pergi ngampus, baca-baca buku di perpus, dan nungguin dia perawatan di salon berjam-jam sampe gue bosen mampus.

Memiliki Ria ternyata tidak seindah zaman gue belum memilikinya. Zaman di mana karakternya masih dibatasi imajinasi gue aja. Zaman di mana dia belum menunjukkan sisi-sisi gelapnya. Zaman di mana gue nggak dipaksa untuk makan-makanan yang dia baru coba masak, hingga membuat gue 3 hari berak-berak. Gue nggak boleh protes, karena gue nggak boleh mengecewakannya, karena membuat dia selalu bahagia adalah kewajiban. Ah!!

Belum lagi sifat posesif dia yang ternyata berbahaya. Di mana, gue ngobrol sama temen sekelas yang cewek aja bisa membuat dia ngambek dan diemin gue seminggu lamanya. Di mana gue harus membiarkan dia mengobok-obok inbox SMS hape gue buat memastikan bahwa gue nggak ngedeketin cewek lain.

Gue nggak bisa protes, karena gue cinta. Meskipun gue capek, dan mulai nyadar bahwa cinta yang sudah menjadi kewajiban itu ternyata menyebalkan. Gue harus menerima dia apa adanya. Gue harus selalu berusaha membahagiakan dia. Gue harus bisa menjadi seperti yang dia minta, meski gue nggak nyaman menjalaninya. Melelahkan juga.

Gue coba buka-buka lagi puisi, lagu, lukisan, yang pernah gue buat untuk Ria saat gue patah hati olehnya dulu. Di titik itu, gue nyadar. Api asmara itu justru ada di saat kita tidak saling memiliki. Di saat kita hanya melihat indahnya si dia. Di saat kita bisa dengan tulus memaklumi segala kekurangannya. Cinta sejati itu tumbuh dari rasa sakit. Iya, orang yang bisa benar-benar menyakiti kita, cuma orang yang benar-benar kita cinta. Mungkin elo bakal santai aja, kalo lo dicuekin oleh orang yang nggak lo suka. Tapi lo bisa galau berbulan-bulan saat lo dicuekin gebetan, kan?

Dan akhirnya, gue dikalahkan oleh rasa bosan. Bosan terhadap segala kekurangan Ria, bosan untuk selalu memakluminya. Iya, waktu itu gue emang belum dewasa dalam mencinta. Akhirnya, kami pun sepakat untuk memutuskan hubungan cinta. Anehnya, beberapa saat setelah kami berpisah, gue kembali bergairah. Rasa cinta kembali tumbuh, rasa rindu kembali menggebu. Gue kembali pengin memperjuangkan cinta si Ria. Maunya hati ini apa sih? Kampret, kan?

Mau diterima atau tidak, begitulah pilihan yang diberikan oleh cinta. Selalu mencintai orang yang tak pernah bisa kita miliki, atau Memiliki orang yang tak kita cintai. Tapi yang jelas, cinta itu adalah yang mampu memberimu energi dan gairah. Cinta itu yang bisa membuatmu selalu gelisah. Cinta itu yang bisa menggerakkan hatimu hingga kamu bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya berat untuk dilakukan. Dan saat kamu tak lagi bergairah, tak bersemangat, dan tak tulus lagi berkorban untuk dia, itu adalah tanda bahwa cinta sudah tak bersemayam di sana.

Don’t get in a relationship with the one you don’t love. Sacrificing is hard, if it’s not for the one you love. But it’ll be easy if you do it for the one you really love. Hubungan, baik itu pacaran maupun pernikahan, bukanlah keputusan yang bisa diambil dalam keputusasaan. So, setelah baca tulisan ini, apa lo masih berani memiliki orang yang lo cintai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar